KURBAN ONLINE Studi Krisis dalam Bidang Fiqh Kontemporer

KURBAN ONLINE

Studi Krisis dalam Bidang Fiqh Kontemporer

bayuajiprasetyo2407@gmail.com

Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir Kelas Internasional

UIN SUSKA Riau

 

A.    Penjelasan Tentang Kurban

Dalam bahasa Arab, Qurban dikenal dengan nama al-Udh-hiyyah, maknanya menurut bahasa adalah hewan yang dikurbankan, atau hewan yang disembelih pada hari Idhul Adha. Sedangkan menurut Ahli Fiqh, al-Udh-hiyyah didefenisikan sebagai berikut:

وَهِيَ مَا يُذ بَحُ مِنَ النَّعَمِ تَقَرُّبًا إِلى اللهِ تَعَاَلى مِنْ يَوْمِ ْالعِيْدِ إِلَى أخِرِ أيَّام التَّشْرِيْقِ

Artinya: “Hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sejak hari Idul Adha hingga ke hari-hari Tasyrîq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah)”.[1]

Dan menurut Al-Jaziri kurban ialah untuk menyebutkan sesuatu hewan dari jenis hewan ternak yang disembelih atau dijadikan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. di hari raya Idul Adha baik dia sedang melaksanakan ibadah haji ataupun tidak mengerjakan.Dari definisi –definisi tersebut di atas, kurban adalah penyembelihan hewan ternak yang dilakukan pada hari raya Idul Adha dan sampai akhir hari tasyrik (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijah) untuk mandekatkan diri kepada Allah SWT.

B.     Dalil Memerintahkan Berkurban

Dalam ajaran Islam, ibadah Qurban disyari’atkan pada tahun kedua Hijriah. Dilihat dari aspek sejarah, ibadah Qurban telah ada sejak zaman Nabi Adam AS, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an:

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ

Arti: Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (Qs. al-Mâ’idah [5]: 27).

Kemudian ibadah Qurban juga dilaksanakan oleh Khalîlullâh Ibrahim AS, sebagaimana firman Allah SWT:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Arti: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (Qs. ash-Shâffât [37]: 102)

Dalil dari al-Qur’an, antara lain:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah”. (Qs. Al-Kautsar [108]: 2).

Dan firman Allah SWT:

وَٱلْبُدْنَ جَعَلْنَٰهَا لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهَا صَوَآفَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْقَانِعَ وَٱلْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur”. (Qs. Al Hajj [22]: 36)

Dalil dari Sunnah, antara lain:

ما عمل ادمى من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إراقة الدم، إنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا

Artinya: “Tidaklah seorang manusia melakukan suatu amal pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) yang lebih dicintai Allah SWT daripada menumpahkan darah (menyembelih Qurban). Sesungguhnya hewan Qurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Sesungguhnya Allah SWT telah menerima niat berkurban itu sebelum darahnya jatuh ke tanah. Maka bersihkanlah jiwamu dengan beribadah Qurban”. (HR.Al-Hâkim, Ibnu Mâjah dan at-Tirmidzi).

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:

C.    Kurban Di Masa Pandemi

Hari Raya Idul Adha akan lagi. Sejumlah orang mulai memasarkan hewan kurbannya dalam Whatsapp Group (WAG) maupun media sosial masing-masing. Pemerintah meresponsnya dengan merilis aturan kurban di masa pandemi covid-19.

Panduan penyelenggaraan Salat Idul Adha dan Penyembelihan Hewan Kurban Tahun 1441H/2020M menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 itu terbit dalam bentuk Surat Edaran Nomor 18 Tahun 2020 yang ditandatangani hari ini oleh Menteri Agama Fachrul Razi. "Untuk pemotongan hewan kurban di masa pandemi, masyarakat harus memperhatikan persyaratan yang telah ditetapkan. Salah satunya, menerapkan jaga jarak fisik (physical distancing)," ungkap Menteri Agama Fachrul Razi, seperti dikutip dari laman Kemenag.[2]

Berikut persyaratan pemotongan hewan kurban di masa pandemi seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Nomor 18 Tahun 2020.

·         Penerapan jaga jarak fisik

1) Pemotongan hewan kurban dilakukan di area yang memungkinkan penerapan jarak fisik.

2) Penyelenggara mengatur kepadatan di lokasi penyembelihan, hanya dihadiri oleh panitia dan pihak yang berkurban.

3) Pengaturan jarak antar panitia pada saat melakukan pemotongan, pengulitan, pencacahan, dan pengemasan daging.

4) Pendistribusian daging hewan kurban dilakukan oleh panitia ke rumah mustahik.

·         Penerapan kebersihan personal panitia

1) Pemeriksaan kesehatan awal yaitu melakukan pengukuran suhu tubuh di setiap pintu/jalur masuk tempat penyembelihan dengan alat pengukur suhu oleh petugas.

2) Panitia yang berada di area penyembelihan dan penanganan daging, tulang, serta jeroan harus dibedakan.

3) Setiap panitia yang melakukan penyembelihan, pengulitan, pencacahan, pengemasan, dan pendistribusian daging hewan harus menggunakan masker, pakaian lengan panjang, dan sarung tangan selama di area penyembelihan.

4) Penyelenggara hendaklah selalu mengedukasi para panitia agar tidak menyentuh mata, hidung, mulut, dan telinga, serta sering mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer.

5) Panitia menghindari berjabat tangan atau kontak langsung, serta memperhatikan etika batuk/bersin/meludah.

6) Panitia yang berada di area penyembelihan harus segera membersihkan diri (mandi) sebelum bertemu anggota keluarga.

·         Penerapan kebersihan alat

1) Melakukan pembersihan dan disinfeksi seluruh peralatan sebelum dan sesudah digunakan, serta membersihkan area dan peralatan setelah seluruh prosesi penyembelihan selesai dilaksanakan.

2) Menerapkan sistem satu orang satu alat. Jika pada kondisi tertentu seorang panitia harus menggunakan alat lain maka harus dilakukan disinfeksi sebelum digunakan.

D.    Fatwa MUI Tentang Penyelenggaraan Kurban Di Masa Pandemi

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa mengenai salat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban di masa pandemi Covid-19Fatwa yang ditandatangani pada 6 Juli 2020 itu menyatakan pelaksanaan salat Idul Adha di tengah wabah virus corona mengikuti ketentuan fatwa MUI sebelumnya saat penyelenggaraan Idul Fitri. Sementara poin lain panduan menyinggung soal pelaksanaan penyembelihan kurban yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan keluasan waktu selama empat hari sejak 10 Zulhijah atau 31 Juli 2020.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam mengatakan jelang hari raya umat Islam ini diperlukan panduan khusus agar beribadah aman dari penularan virus corona tetapi juga sesuai kaidah hukum agama. "Fatwa ini dibahas dan ditetapkan untuk memastikan pelaksanaan salat Idul Adha dan ibadah kurban sesuai ajaran agama dan tetap menjaga keselamatan, menjaga protokol kesehatan agar tidak berpotensi menyebabkan penularan Covid-19," kata Asrorun.

MUI menyatakan, penyembelihan hewan kurban di tengah pandemi Covid-19 ini harus tetap mematuhi protokol kesehatan demi mencegah dan meminimalkan potensi penularan. Adapun panduan penyembelihan hewan kurban Idul Adha 2020 di masa pandemi Covid-19 sebagai berikut:

1. Pihak yang terlibat dalam proses penyembelihan saling menjaga jarak fisik (physical distancing) dan meminimalisir terjadinya kerumunan.

2. Selama kegiatan penyembelihan berlangsung, pihak pelaksana harus menjaga jarak fisik (physical distancing), memakai masker, dan mencuci tangan dengan sabun selama di area penyembelihan, setiap akan mengantarkan daging kepada penerima, dan sebelum pulang ke rumah.

3. Penyembelihan kurban dapat dilaksanakan bekerja sama dengan rumah potong hewan dengan menjalankan ketentuan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal.

4. Dalam hal ketentuan pada huruf c tidak dapat dilakukan, maka penyembelihan dilakukan di area khusus dengan memastikan pelaksanaan protokol kesehatan, aspek kebersihan, dan sanitasi serta kebersihan lingkungan.

5. Pelaksanaan penyembelihan kurban bisa mengoptimalkan keluasan waktu selama 4 (empat) hari, mulai setelah pelaksanaan shalat Idul Adha tanggal 10 Zulhijah hingga sebelum Magrib tanggal 13 Zulhijah.

6. Pendistribusian daging kurban dilakukan dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. MUI juga meminta pemerintah memfasilitasi pelaksanaan protokol kesehatan dalam menjalankan ibadah kurban. Dengan begitu, kegiatan bisa terlaksana sesuai dengan ketentuan syariat Islam sekaligus juga terhindar dari potensi penularan Covid-19.

Adapun rekomendasi MUI terkait Pelaksanaan Idul Adha saat Pandemi Covid-19 antara lain ialah Fatwa mengenai pelaksaan salat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban itu bukan saja memuat soal panduan ibadah melainkan juga sejumlah rekomendasi. Pengurus MUI memberikan enam rekomendasi di antaranya meminta pengurus masjid menyiapkan penyelenggaraan salat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban berpedoman pada fatwa. Selain itu MUI mengimbau umat Islam yang punya kemampuan untuk melaksanakan kurban, baik dilaksanakan sendiri maupun dengan cara diwakilkan (taukil). Pengurus MUI juga meminta panitia kurban memfasilitasi jamaah yang hendak melaksanakan ibadah kurban dengan berpedoman pada fatwa ini. "Panitia kurban agar menghimbau kepada umat Islam yang tidak terkait langsung dengan proses pelaksanaan ibadah kurban agar tidak berkerumun menyaksikan proses pemotongan,".

Rekomendasi selanjutnya adalah, panitia kurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah kurban disarankan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. Selanjutnya, MUI juga meminta pemerintah menjamin keamanan dan kesehatan hewan kurban, serta menyediakan sarana prasarana penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal.[3]

E.     Problem yang Terkait Dalam Penyelenggaraan Kurban

·                Apakah pada malam harinya juga boleh dilakukan penyembelihan hewan Qurban?

Waktu yang afdhal untuk menyembelih Qurban adalah siang hari. Boleh dilakukan malam hari, akan tetapi hukumnya makruh. Karena dalam sebuah hadits disebutkan,

أنه نهى عن الذبح بالليل

Artinya: “Rasulullah SAW melarang menyembelih hewan pada malam hari”. (HR.ath-Thabrâni)[4]

Larangan penyembelihan pada malam hari tersebut untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, antara lain: kekeliruan dalam penyembelihan, menyulitkan dalam pembagian, sulit untuk menyaksikan penyembelihan dan tidak memperlihatkan syi’ar ibadah Qurban.

·                Apakah orang yang belum akikah boleh berkurban?

Orang yang belum akikah boleh melaksanakan ibadah Qurban dengan beberapa alasan. Pertama, karena hukum akikah dan Qurban sama-sama Sunnat Mu’akkad. Kedua, karena akikah itu kewajiban orang tua terhadap anaknya, bukan kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويلحق ويسمى

Artinya: “Setiap anak tergadai dengan akikahnya, akikahnya itu disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (kelahirannya), rambutnya dicukur dan diberi nama”. (HR. Ahmad dan empat kitab as-Sunan).

·                Bagaimana pula hukumnya menyembelih hewan Qurban untuk orang yang telah meninggal dunia?

Terdapat beberapa pendapat ulama dalam masalah ini. Menurut Mazhab Syafi’i, tidak boleh berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia, kecuali jika orang yang telah meninggalkan dunia itu meninggalkan wasiat sebelum ia meninggal. Karena Allah SWT berfirman:

وأن ليس للإنسان إلا ما سعى

 Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (Qs. An-Najm [53]: 39).

Jika orang yang telah meninggalkan dunia tersebut meninggalkan wasiat, maka orang yang menerima wasiat melaksanakannya dan semua dagingnya mesti disedekahkan kepada fakir miskin. Orang yang melaksanakan wasiat dan orang lain yang mampu tidak boleh memakan daging Qurban tersebut, karena tidak ada izin dari orang yang telah meninggal dunia untuk memakan daging Qurban tersebut.

Menurut Mazhab Maliki, makruh hukumnya berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia, jika orang yang meninggal dunia itu tidak menyatakannya sebelum ia meninggal. Jika orang yang meninggal itu menyebutkannya sebelum ia meninggal dan bukan nadzar, maka ahli warisnya dianjurkan agar melaksanakannya.

Menurut Mazhab Hanbali, boleh berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia, daging hewan Qurban tersebut disedekahkan dan dimakan, balasan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut.

Mazhab Hanafi berpendapat sama seperti pendapat Mazhab Hanbali, akan tetapi menurut Mazhab Hanafi haram hukumnya memakan daging Qurban yang disembelih untuk orang yang telah meninggal dunia berdasarkan perintahnya, semua dagingnya mesti diserahkan kepada fakir miskin.[5]

        Nama                : Bayu Aji Prasetyo
        NIM                   : 11732100507
        Nama DPL        Ahyani Radhiani Fitri,M.A
        Kelompok KKN   : 06
#kkn-drplus20usr

[1].              Mughni al-Muhtâj, al-Khathîb asy-Syarbaini, 4/282.

[4].              Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang statusnya Matrûk. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari al-Hasan secara Mursal. (Nail al-Authâr, asy-Syaukâni, 5/126).

[5].              Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, DR.Wahbah az-Zuhaili, 4/2877.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

COLAMIKI (Covid-19 Alami Krisis Keilmuan) Studi Krisis dalam bidang Pendidikan

MEMOTIVASI SEMANGAT EDUKASI SISWA MELALUI BIMBEL-DR (Bimbingan Belajar Dari Rumah)